Mengetahui Macam-Macam Hukum Dalam Islam
Hukum dalam Islam
Hukum dalam Islam ada lima perkara, yaitu :
- Wajib, yaitu perintah yang mesti di kerjakan. Jika perintah tersebut dipatuhi (dikerjakan), maka yang mengerjakannya akan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan (tidak dikerjakan) maka ia berdosa.
- Sunat, yaitu anjuran. Jika dikerjakan akan mendapatkan pahala, dan jika tidak kerjakan tidak pula berdosa.
- Haram, yaitu larangan keras. Kalau dikerjakan ia akan mendapatkan dosa dan jika tidak dikerjakan (ditinggalkan) ia akan mendapatkan pahala.
- Makruh, yaitu larangan yang tidak keras. Kalau dilanggar tidak dihukum (tidak berdosa), dan jika ditinggalkan akan diberi pahala.
- Mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan, kalau dikerjakan tidak berpahala dan tidak pula berdosa, dan kalau ditinggalkan tidak berpahala dan tidak pula berdosa.
Sedangkan dalil fiqih diambil dari 4 sumber utama, yaitu :
- Al-Qur'an
- Hadits
- Ijma' mujtahidin (Ijma' ulama)
- Qias
Sebagian ulama menambahkan istihsan, istidhlal, urf, dan istishab ke dalam sumber utama dalil fiqih.
Hukum-hukum itu dalam fiqih jika ditinjau dari pengambilannya terdiri atas empat macam, yaitu :
Hukum yang diambil dari nash yang tegas, yakin adanya dan yakin pula maksudnya menunjukkan kepada hukum itu.
Hukum seperti ini tetap tidak berubah dan wajib dijalankan oleh seluruh kaum muslimin dan muslimat, tidak seorang pun berhak membantahnya, seperti wajibnya shalat lima waktu, puasa, zakat, haji dan syarat sah jual beli dengan rela. ImamAs-Safi'ie berkata : "Apabila ada ketentuan hukum dari Allah Swt pada suatu kejadian, setiap muslim wajib mengikutinya."
Hukum yang diambil dari nash yang tidak yakin maksudnya terhadap hukum-hukum itu.
Dalam hal seperti ini terbukalah jalan bagi para mujthidin untuk berijtihad dalam batas memahami nash tersebut saja, tidak boleh melampaui lingkungan nash itu. Para mujtahid boleh mewujudkan hukum atau menguatkan salah satu hukum dengan ijtihadnya, umpanya boleh atau tidaknya khiyar majlis bagi dua orang yang berjual beli. Seperti dalam sebuah hadits yang artinya : "Dua orang yang jual beli boleh memilih antara meneruskan jual beli atau tidak selama keduanya belum berpisah."
Yang dimaksud dengan kata 'berpisah' dalam hadits di atas adalah mungkin berpisah badan atau pembicaraan, mungkin juga ijab dan kabul.
Dan seperti wajib menyapu semua kepala atau sebagian saja ketika berwudhu, dalam memahami surat Al-Maidah ayat ke 6, yang artinya : "Dan sapulah kepalamu."
Dan seperti tidak halal binatang yang disembelih karena semata-mata tidak membaca bismillah dalam memahami hadits yang artinya : "Alat apapun yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan padanya nama Allah."
Hukum yang tidak ada nash, baik secara qoth'i (pasti) maupun secara dzonni (dugaan), tetapi pada suatu masa sepakat (ijma') mujtahidin atas hukum-hukumnya.
Seperti bagian kakek seperenam, dan batalnya perkawinan seorang muslimah dengan laki-laki non muslim. Di sini tidak ada pula jalan untuk ijtihad, bahkan setiap muslim wajib memgakui dan menjalankannya karena hukum yang disepakati oleh para mujtahidin itu adalah hukum untuk seluruh ummat, dan ummat itu menurut sabda Rasulullah Saw : "Tidak akan sepakat atas sesuatu yang sesat."
Para mujtahidin itu merupakan ulil amri dalam mempertimbangkan. Sedangkan Allah Swt menyuruh ummat Islam untuk menaati ulil amri. Sungguhpun begitu, kita wajib betul-betul mengetahui bahwa pada hukum itu telah terjadi ijma' (sepakat) ulama mujtahidin, bukan hanya semata-mata didasarkan pada sangkaan yang tidak dengan penyelidikan yang teliti.
Hukum yang tidak dari nash, baik qoth'i atau pun dzonni, dan tidak pula ada kesepakatan mujtahidin atas hukum tersebut.
Seperti yang banyak menghiasi kitab-kitab fiqih madzhab yang kita lihat pada saat ini. Hukum seperti ini adalah buah dari pendapat salah seorang mujtahid menurut asas (cara) yang sesuai dengan akal pikirannya dan keadaan dilingkungan masing-masing di waktu terjadinya peristiwa tersebut.
Hukum-hukum seperti ini tidak tetap, mungkin berubah dengan berubahnya keadaan atau tinjauan masing-masing. Maka mujtahid di masa itu atau sesudahnya berhak membantah serta menetapkan hukum yang lain, sebagaimana mujtahid pertama telah memberi (menetapkan) hukum itu sebelumnya. Ia pun dapat pula mengubah hukum itu dengan pendapatnya yang lain dengan tinjauan yang lain pula, setelah diselidiki dan diteliti kembali pokok-pokok pertimbangannya.
Buah ijtihad seperti ini tidak wajib dijalankan oleh seluruh kaum muslim, hanya wajib bagi mujtahid itu sendiri dan bagi orang yang minta fatwa kepadanya, selama pendapatnya itu belum diubah. Jadi, pengambilan hukum yang wajib diikuti oleh semua kaum muslim hanyalah Al-Qur'an, hadits mutawatir yang qoth'i dilalah, dan ijma' mujtahidin.
Posting Komentar untuk "Mengetahui Macam-Macam Hukum Dalam Islam"
Silahkan berkomentar dengan sopan dan bijak!!