Makna dan Tujuan Ibadah Dalam Perspektif Islam
Allah berfirman dalam Al-Qur'an :
وَلِلَّهِ غَيۡبُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَإِلَيۡهِ يُرۡجَعُ ٱلۡأَمۡرُ كُلُّهُۥ فَٱعۡبُدۡهُ وَتَوَكَّلۡ عَلَيۡهِ ۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ
Artinya : "Dan kepunyaan Allah segala rahasia dilangit dan dibumi, dan kepadaNyalah dikembalikan seluruh persoalan. Oleh karena itu, beribadahlah kepadaNya dan berserah dirilah. Dan sekali-kali TuhanMu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (QS. Hud: 123).
Kalau seseorang menyadari firman Allah Swt diatas, maka konsekuensinya maka kesadaran ini adalah ketundukan kepadaNya, sejalan dengan hukum yang berlaku serta diakui secara rela atau tidak oleh seluruh makhluk di alam raya ini. Yang lemah tunduk kepada yang kuat, yang butuh kepada yang mampu, yang hina kepada yang agung dan mulia. Demikianlah seterusnya yang tampak secara jelas dalam kehidupan ini.
Ketundukan tersebut merupakan ketetapan alami yang tidak dapat dielakkan lagi oleh siapa pun karena Allah Swt merupakan wujud yang Maha Agung, Maha Berkuasa dalam semesta alam ini, maka tentunya puncak dari ketundukan tersebut harus pula tertuju kepadaNya semata.
Allah Swt membolehkan seseorang tunduk kepada selain Allah Swt, namun ketundukan tersebut harus dikaitkan dengan ketundukan kepada Allah Swt, dan tidak boleh bertentangan dengan perintahNya. Ketundukan kepada selain Allah Swt tersebut bukan merupakan puncak ketundukannya, karena puncak ketundukannya itu adalah ibadah dan ibadah itu hanya boleh ditujukan kepad Allah Swt semata.
Menurut para ulama, ibadah adalah segala sesuatu yang disukai dan diridhio oleh Allah Swt, dalam bentuk ucapan dan perbuatan baik secara lahir maupun secara bathin, sperti shalat, puasa, haji, berbicara benar, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menjaga hubungan kekeluargaan, dan lain sebagainya. Ibadah dalam arti sempit ialah puncak ketundukan karena adanya rasa keagungan terhadap yang disembah.
Sedangkan tujuan ibadah adalah untuk memgingatkan manusia akan unsur rohani di dalam diriNya, yang juga memiliki kebutuhan-kebutuhan yang berbeda dengan kebutuhan-kebutuhan jasmaniyahnya. Mengingatkannya bahwa dibalik kehidupan yang fana ini, masih ada lagi kehidupan berikutnya yang bersifat abadi.
Ibadah-ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji tidak terlepas dari kedua tujuan pokok tersebut di atas. Oleh karena itu, dalam setiap ibadah mahdhoh tersebut tata caranya yang telah ditetapkan syariat islam, harus diterima dan diamalkan sebagai mana adanya. Disini akal dan pikiran ditundukkan pada aturan yang ada. Akal dan pikiran tidak boleh memgatur, misalnya dalam puasa, mengapa harus sebulan penuh, tidak dua atau tiga minggu saja? Mengapa yang terlarang itu makan, minum, dan berhubungan intim saja? Mengapa berpuasa harus dilaksanakan sampai terbenamnya matahari, tidak hanya sampai tengah hari?.
Dalam kehidupan sehari-hari hal semacam itu sering ditemukan, ambillah misalnya warna merah putih yang merupakan bendera nasional Indonesia, mengapa harus merah putih? Tentu ada alasannya mengapa kedua warna tersebut dipilih sebagaimana ada pula alasan lain yang menjadikan negara memilih warna-warna yang lain. Bahkan negara Monaco mempunyai alasan sendiri memilih warna dan bentuk yang sama dengan Sang Saka Merah Putih.
Kemudian apa arti merah dan apa arti putih? Penafsiran masing-masing akan berbeda-beda sesuai tingkat pemahaman masing-masing terhadapnya dan bersifat relatif, sehingga pada akhirnya perbedaan tersebut tidaklah menjadi bahan diskusi dan perselisihan lagi. Ia telah menjadi bahan tauqifi dalam bahasa agama dan pada akhirnya harus disadari bahwa hal tersebut adalah hak masing-masing.
Dalam masalah ibadah pun seseorang harus menyadari bahwa Allah swt yang telah melimpahkan berbagai nikmat kepada hambaNya, mempunyai hak dan wewenang untuk menetapkan cara-cara yang dikehendakiNya yang dipahami cara tersebut atau pun tidak hal itu sebagai ujian kepada hamba-hambaNya, karena memang kehidupan ini dijadikan sebagai arena untuk menguji hambaNya.
Allah berfirman dalam Al-Qur'an surat Al-Mulk :
ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَٰوةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ
Artinya : "(Dia Allah) yang menjadikan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa diantara kamu yang paling baik amalnya". (QS. Al-Mulk: 2)
Dengan demikian, manusia tidak hanya berperan dalam menetapkan bentuk-bentuk ibadah mahdhoh itu, yang dibutuhkan disini hanyalah bukti ketaatan dengan cara melakukan apa-apa yang telah diperintahkan oleh agama. lain dari itu tidak boleh dilakukan, jika ingin disebut sebagai hamba yang berbakti.
Gabung dalam percakapan