Menyikapi Hukum Islam Pada Zaman Rasulullah dan Sesudah Beliau Wafat
Pada masa Rasulullah Saw masih hidup, segala sesuatu beliau pimpin sendiri. Peristiwa-peristiwa yang terjadi langsung mendapatkan keputusan dari beliau. Sahabat-sahabat senantiasa beliau beri petunjuk, ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan oleh Allah Swt kepada beliau dengan perantaraan malaikat Jibril selalu beliau ajarkan dan beliau suruh hafalkan, dan beliau suruh para sahabat untuk menulisnya.
Terkadang sewaktu dikemukakan suatu peristiwa kepada beliau, beliau termenung (tidak menjawab) karena menunggu wahyu dari Allah Swt. Setelah beliau menerima wahyu mengenai soal yang sedang dihadapkan kepada beliau itu, barulah beliau berikan kepastian serta beliau jelskan kepada para sahabat. Seringkali wahyu itu berisi jawaban atas pertanyaan atau peristiwa yang terjadi, serta membawa hukum-hukum yang lain.
Rasulullah Saw menerima wahyu kira-kira dua puluh tiga tahun lamanya. Dalam masa itu, selesailah turunnya kitab suci Al-Qur'an yang mengandung segala petunjuk bagi manusia untuk kemaslahatan dunia dan akhirat. Walaupun tidak secara tafsil (terperinci) satu per satu, bahkan banyak ayat yang berupa mujmal (global/umum), tetapi kemudian dijelaskan oleh Rasulullah Saw, ada yang dengan lisan, dengan perbuatan, dan dengan jalan membiarkannya saja.
Umpamanya, ada suatu perbuatan yang dilakukan orang di depan beliau, beliau melihat dan mengetahui sifat-sifat perbuatan itu, tetapi beliau diam saja, tidak memberi keterangan atas hukum perbuatan tersebut. Diamnya Nabi Saw, ini menjadi penjelasan bahwa perbuatan tersebut hukumnya "mubah" atau "boleh".
Rasulullah Saw wafat meninggalkan para sahabat yang merupakan alim ulama dan cerdik pandai. Mereka diserahi tugas untuk menggantikan beliau memimpin negara dan rakyat, memajukan agama, dan menghukum segala sesuatu dengan adil. Pengetahuan mereka tentu tidaklah sama, sebagian mereka merupakan 'alim mutakhassis (spesialis) dalam suatu ilmu, diantaranya ada yang mutakhassis dalam ilmu hukum, ada yang mutakhassis dalam ilmu kenegaraan dan politik, ada pula yang mutakhassis dalam ilmu ekonomi, perdagangan, dan seterusnya.
Dalam menghadapi segala soal, terlebih dahulu mereka memeriksa soal tersebut dalam kitab suci Al-Qur'an atau hadits yang mereka hafal. Tetapi kadang-kadang masalah yang mereka hadapi itu tidak ditemukan nash-nya dalam Al-Qur'an atau pun hadits. Ketika itu mereka saling bertanya, mungkin yang lain mengetahui haditsnya, sedangkan yang menghadapi peristiwa itu sendiri tidak mengetahuinya.
Apabila diantara mereka ada yang mengetahui hadits mengenai peristiwa itu, mereka tetapkan hukum peristiwa itu menurut nash hadits tersebut. Akan tetapi, kadang-kadang tidak dijumpai nash yang jelas. Dalam hal seperti ini mereka berijtihad untuk mencari hukum dengan memperbandingkan dan meneliti ayat-ayat dan hadits yang umum, serta mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan peristiwa yang terjadi, di qiaskan dengan hukum yang sudah ada, yang berdekatan dengan peristiwa yang baru terjadi itu.
Apabila ada masalah yang penting, mereka mengadakan musyawarah dan bertukar pikiran, sedangkan dalam permusyawarahan itu semuanya didasarkan pada dua pokok utama, yaitu Al-Qur'an dan hadits, sehingga permusyawarahan itu dapat menghasilkan keputusan. Demikianlah cara mereka bekerja, seorang yang mempunyai kedudukan tinggi tak segan-segan bertanya kepada siapa pun, sekaligus orang tersebut lebih rendah kedudukannya.
Agama Islam makin tersiar, negeri-negeri di jazirah Arab menggabungkan diri dengan pemerintahan Islam. Pada tahun 17 Hijriyah, daerah Syam dan Irak ditaklukkan. Tahun 20-21 Hijriyah Mesir dan Persia dikalahkan, dan negara Islam meluas ke timur dan ke barat.
Untuk kepentingan negara dan agama, maka alim ulama dan kaum cerdik pandai perlu berpindah dari tempat kelahiran mereka menuju daerah-daerah baru. Disana mereka dapati adat, pergaulan, peraturan, dan peristiwa-peristiwa yang sungguh berbeda dari yang mereka alami di daerah kelahiran mereka.
Tiap-tiap daerah mempunyai adat, pergaulan, dan peraturannya sendiri. Daerah Persia mempunyai peraturan-peraturan dan undang-undang sendiri sebagai hasil kemajuan ilmu pengetahuan di sana. Mesir dan Syam mempunyai cara sendiri pula akibat peraturan dan undang-undang yang diwarisinya dari peninggalan pemerintahan Romawi. Ringkasny, keadaan di daerah-daerah baru itu berbeda dengan keadaan daerah yang lama. Bahkan daerah yang baru itu ada yang lebih maju dari pada jazirah Arab.
Dalam menghadapi kejadian itu (perbedaan-perbedaan antara daerah-daerah baru denga daerah-daerah lama), atau antara daerah sesama daerah baru itu, alim ulama dan cerdik pandai perlu berusaha agar semua soal yang mereka hadapi dapat disesuaikan dengan agama Islam. Karena mereka mengetahui bahwa Islam bukan untuk meruntuhkan atau membuang segala yang ada dan menggantinya dengan yang baru, tetapi memperhatikan dan menimbang segala sesuatu dengan dasar baik serta melihat manfaat dan mudharatnya.
Segala sesuatu yang baik atau maslahat dijadikan syariat, dan segala sesuatu yang buruk atau merusak dibuang dan dilarang mendekatinya. Sesuatu yang hanya perlu diperbaiki, ditambah, atau dikurangi, diperbaikinya sehingga menjadi baik dan berfedah untuk manusia. Sesudah diperbaiki, dijadikan sebagai "syariat".
Contohnya, Islam telah menetapkan ibadah haji menjadi salah satu rukun Islam yang lima, sesudah dibersihkannya dari sifat-sifat berhala. Islam telah menetapkan hukum perkawinan, perceraian, hukum jual beli, dan beberapa urusan muamalah setelah diatur dan diperbaiki menurut kemaslahatan. Islam telah mengharamkan minuman keras dan berjudi karena kerusakan yang ditimbulkan dari keduanya lebih banyak dari pada manfaatnya. Islam pun telah memberikan beberapa hak bagi perempuan yang pada waktu sebelum Islam (zaman jahiliyah) tidak ada.
Demikianlah Allah Swt dan RasulNya memberi petunjuk tentang beberapa peristiwa dan adat yang ada di zaman jahiliyah, sehingga dengan segera akal pikiran kita dapat memahami bahwa peristiwa-peristiwa dan soal-soal yang dikemukakan kepada para mujtahidin (alim ulama dan cerdik pandai) apabila tidak ada nash (dari kitab suci dan hadits), mereka ada hak mempertimbangkannya serta memberi keputusan yang sesuai dengan pokok syariat Islam, tidak bertentangan dengan nash Al-Qur'an atau hadits.
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa hubungan antara undang-undang negara yang ditaklukkan oleh kaum muslimin dengan fiqih Islam. Umpamanya peraturan-peraturan dan hukum-hukum pemerintah Romawi di Mesir dahulu, banyak yang mirip atau sama dengan pendapat ahli fiqih di Mesir, setelah Mesir diperintah oleh pemerintahan Islam.
Sehingga ada orang yang mengatakan bahwa undang-undang dan peraturan pemerintah Romawi banyak yang diambil dan dicontoh oleh ulama Islam dalam buku fiqih mereka, begitu juga undang-undang dan peraturan negara lain yang telah ditaklukkan oleh kaum muslim. Sampai ada yang mengatakan : "Sesungguhnya fiqih Islam itu adalah pendapat ulama-ulama Islam dengan mempergunakan peraturan-peraturan atau undang-undang negara-negara yang ditaklukkannya. "
Sangkaan tersebut adalah sangkaan yang tidak sehat, kurang teliti, atau karena tidak mempelajari agama Islam secara utuh dan lebih jauh. Ia tidak mempelajari cara-cara ulama Islam menetapkan hukum fiqih. Kalau dipelajari riwayat tumbuhnya hukum fiqih dan cara-cara para ulama menyusun hukum-hukum itu, dari mana diambil dasar-dasar pokoknya, tentu ia tidak akan berkata demikian.
Ulama di zaman sahabat sampai ke zaman tabi'in dan seterusnya mengambil hukum-hukum fiqih bukan semata-mata dari pendapat mereka dengan melihat dan meneliti peristiwa yang ada ditengah-tengah mereka saja, tetapi mereka mengambil hukum-hukum itu dari pokoknya (Al-Qur'an dan hadits).
Pusat atau tempat alim ulama dan cerdik pandai dimasa sahabat mengembangkan dan mempraktekkan hukum Islam dan ilmu pengetahuan terhadap muslimin khususnya dan terhadap ummat manusia pada umumny ialah daerah-daerah Mekkah, Madinah, Kufah, Basrah, Syam, dan Mesir.
Sebagian nama-nama ulama dari sahabat Nabi Saw, yang sungguh besar jasanya dalam menjalankan dan mensyiarkan hukum-hukum fiqih, yaitu Mu'az bin Jabal, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas'ud, Abu Musa Al-Asy'ari, Abu Darda, Ubadah bin Samit, dan Abdullah bin Amr bin Ash. Mereka itu tersebar di daerah-daerah tersebut, di bawa oleh kepentingan agama dan negara, di dorong oleh rasa cinta dan taat kepada perintah Allah.
Selain bekerja untuk pemerintah, mengatur keadaan negeri, menyusun dan merencanakan undang-undang dan peraturan-peraturan, mereka juga sebagai pendidik, mengajar anak-anak dan teman-teman mereka menghafal dan memahamkan Al-Qur'an dan hadits. Demikianlah perkembangan ilmu fiqih dari zaman sahabat sampai zaman tabi'in serta zaman selanjutnya yang disebut zaman tabi'it tabi'in dan seterusnya.
Posting Komentar untuk "Menyikapi Hukum Islam Pada Zaman Rasulullah dan Sesudah Beliau Wafat "
Silahkan berkomentar dengan sopan dan bijak!!